Sabtu, 11 Februari 2012

Kesabaran dan kesadaran

Email This BlogThis Share to Facebook

Ada sebuah kebiasaan yang menyenangkan hati dan jiwa saya belakangan ini. Setiap kali selesai melakukan meditasi, kemudian menemukan
rangkaian pemahanan yang layak untuk dibagi ke banyak orang hari itu,
maka aku tulislah pesan tadi ke dalam pesan SMS yang dikirim ke
puluhan sahabat. Dan tidak sedikit sahabat yang menerusakannya lagi
ke puluhan sahabatnya yang lain. Maka jadilah pesan-pesan SMS yang
selalu diawali dengan kata `Gede Prama's message of the day' sebagai
bahan renungan yang ditunggu banyak sahabat. Begitu ada minggu tanpa
SMS terakhir, tidak sedikit sahabat yang mengirimi saya SMS : mana
pesan untuk minggu ini ?

Kalau ada seseorang yang melakukan silaturahmi dengan cara mendatangi
rumah kawan, saya melakukan silahturahmi melalui SMS. Dan dalam pesan-
pesan SMS yang umumnya bertemakan cinta, keheningan, kebahagiaan dan
kesabaran, ada yang sempat bertanya, adakah mereka menerima pesan
dari seorang konsultan ataukah dari seorang pendeta ?. Dengan enteng
pertanyaan ini saya jawab, bahwa pesan ini datang dari seorang
gelandangan intelektual. Sebuah sebutan yang diberikan oleh salah
seorang sahabat, dan kebetulan saya menyukainya. Pasalnya,
pengembaraan saya telah melalui banyak sekali halaman-halaman rumah
orang lain.

Lahir dan besar memang di dunia manajemen, namun karena merasa tandus
dan kering di tempat lahir ini, saya melanjutkan pengembaraan ke mana-
mana. Seorang sahabat jurnalis yang merangkum karya saya, sempat
menyebut perjalanan saya sejauh ini sebagai campuran antara
psikologi, pilosopi dan religi. Dan apapun sebutan dan campurannya,
mirip dengan rumah yang saya tinggali ketika tulisan ini dibuat,
rumah intelektual saya juga tanpa pagar pemisah dan pagar penyekat.

Yang jelas ada satu hal yang amat membantu saya hidup hening dalam
rumah intelektual tanpa pagar : kesabaran. Kita masih bisa berdebat
tentang hubungan antara kualitas intelektual serta keheningan di satu
sisi, dengan kesabaran di lain sisi. Namun saya mendapat pelajaran
amat banyak dari kesabaran. Ia tidak saja menjadi mesin kebahagiaan,
tetapi juga mesin kejernihan dan keheningan.

Bila menoleh pada tangga-tangga pemahaman saya terdahulu, betapa
ketertutupan pikiran dan mind mudah sekali muncul dalam kualitas
kepribadian yang jauh dari kesabaran. Marah adalah pertanda ekstrim
yang muncul ke permukaan sebagai hasil produksi ketidaksabaran. Cuman
ketertutupan mind tidak bisa dilihat semudah kita melihat orang
marah. Ia sering kali hadir secara amat tersembunyi.

Ketika masih melanjutkan studi di Inggris dan sempat sedikit
terpesona dengan ide-ide orang seperti Derrida dan Foucault, pernah
terpikir untuk ikut mengkonstruksi mind ke dalam weak and strong
mind. Di mana kesabaran lebih dekat dengan weak mind, dan
ketidaksabaran menghasilkan strong mind. Namun, semakin sang
kesabaran diselami dan didalami, semakin saya dihadapkan pada
borderless mind, sebuah pemahaman tanpa sekat-sekat. Apapun isi mind
dari tua-muda, suka-duka, desa-kota, terdidik-tidak terdidik, sampai
dengan born and unborn mind, tetap saja sekat-sekat itu tidak banyak
membantu. Setiap bentuk sekat membuat perjalanan pemahaman tidak
tambah dalam, sebaliknya malah tambah dangkal.

Sebut saja sekat-sekat benar-salah, atau suka-tidak suka. Ia membuat
semua orang hanya mampu melihat sebagian kecil saja dari wajah dunia.
Apa lagi sekat-sekat menakutkan seperti ideologi dan agama yang
dibela dengan teror bom dan pada akhirnya menghasilkan air mata. Ia
disamping mendangkalkan, juga membuat sang kehidupan berwajah
mengerikan.

Bercermin dari sinilah, saya batalkan niat saya untuk ikut
mengkonstruksi weak and strong mind. Kemudian, berjalan terus bersama
kesabaran dengan sebuah cita-cita sederhana : melampaui mind.
Bedanya, kalau Derrida dan Foucault menggunakan kendaraan pikiran,
saya sedang belajar melampaui pikiran dengan jalan-jalan Yoga. Sebuah
jalan dengan teramat sedikit bahasa, kata-kata apa lagi sekat.

Di tingkat kesadaran, dunia memang tanpa pagar, pemisah dan tanpa
sekat. Namun, ia menjadi sulit dijangkau karena manusia biasa melihat
dan menjelaskan `hanya' melalui bahasa - dari mana sekat dan pemisah
itu berasal. Sungguh tidak mudah berkomunikasi, apa lagi
menerangkannya ke Anda bagaimana wajah sang kesadaran melalui media
bahasa. Ingin sebenarnya, suatu waktu kolom ini hanya ada foto dan
nama saya, dan sisanya hanya kertas kosong. Bila mana perlu tanpa
kertas, tanpa penjelasan, tanpa apa-apa. Yang ada hanya kosong
melompong. Sayangnya, pengelola majalah ini tidak cukup gila untuk
saya ajak masuk dalam kesadaran.

Kembali ke cerita awal saya tentang pesan-pesan SMS yang membuat
banyak teman bertanya heran apakah saya menekuni psikologi, pilosopi
atau malah religi, dari tempat pengembaraan saya kemukakan ke sahabat-
sahabat, saya hanyalah seorang pertapa yang disuruh jadi raja. Dan
dari kursi raja ini kemudian saya menemukan, kesabaranlah kendaraan
yang bisa membawa kita dalam kesadaran. Apakah Anda akan ikut saya,
tidak ikut atau lari ketakutan, itu urusan Anda masing-masing. Yang
jelas, begitu tulisan ini selesai dibuat - asal Anda tahu - saya lari
tunggang langgang meninggalkan penjelasan-penjelasan dangkal dan
memalukan ini
Posted in: Kesabaran dan kesadaran

Tidak ada komentar: